Hukrim  

Lima Perkara Disetujui Diselesaikan Melalui Restorative Justice oleh Kejati Sumut

BLOKBERITA.COM – Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) kembali menyetujui penyelesaian lima perkara pidana melalui mekanisme keadilan restoratif (restorative justice).

Ekspose perkara tersebut disampaikan secara daring oleh Wakil Kepala Kejati Sumut Rudy Irmawan, SH, MH mewakili Kajati Sumut Idianto, SH, MH, didampingi Aspidum Imanuel Rudy dan para Kasi. Presentasi dilakukan dari ruang vicon lantai 2 Kantor Kejati Sumut, Jalan AH Nasution, Medan, dan diterima oleh Direktur Tindak Pidana Umum (Dir Pidum) Kejagung RI Nanang Ibrahim Soleh beserta para Kasubdit.

Ekspose turut diikuti secara daring oleh para Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dari Gunungsitoli, Simalungun, Deli Serdang, serta Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Toba di Porsea.

Kasi Penkum Kejati Sumut, Adre W Ginting, SH, MH menjelaskan, lima perkara tersebut berasal dari empat wilayah kejaksaan. Rinciannya: Kejari Gunungsitoli ; tersangka Faduhusa Harefa alias Ama Fasni, tersangka Oktavianus Harefa alias Ama Sintia. Keduanya disangkakan melanggar Pasal 310 ayat (1) dan Pasal 315 ayat (1) KUHP junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kejari Simalungun ; tersangka Iwan Andianto Purba, melanggar Pasal 480 ayat (1) KUHP (penadahan). Kejari Deli Serdang ; tersangka Piliani Flora Nainggolan melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP (penganiayaan ringan). Dan Cabjari Toba di Porsea ; tersangka Okto Venansius Samosir melanggar Pasal 335 ayat (1) ke-1e KUHP (perbuatan tidak menyenangkan).

Menurut Adre, lima perkara tersebut layak diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif sesuai ketentuan Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020. “Syaratnya antara lain tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukumannya di bawah lima tahun, serta kerugian tidak melebihi Rp2,5 juta. Terpenting, tersangka dan korban telah sepakat untuk berdamai,” jelasnya.

Adre menambahkan bahwa proses perdamaian dilakukan secara berjenjang, difasilitasi jaksa, dan disaksikan tokoh masyarakat, penyidik, serta keluarga para pihak. “Jaksa bertindak sebagai fasilitator, mengedepankan hati nurani. Tersangka juga berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya,” ujar Adre.

Penyelesaian perkara melalui restorative justice dinilai membuka ruang harmoni dan mengembalikan hubungan sosial antara tersangka dan korban. “Hal ini bukan hanya menghindari pemidanaan semata, tapi mengembalikan keadaan seperti semula di tengah masyarakat,” pungkasnya.
(RS*).

Exit mobile version