BLOKBERITA.COM – Pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan selaku kuasa hukum dari dua keluarga korban kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI secara resmi telah mengajukan Judicial Review (JR) terhadap UU Nomor 31/1997 tentang Peradilan Pidana Militer ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI sebagaimana Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor: 265/PUU/PAN.MK/ AP3/12/2025 pada Senin (15/12/2025).
Adapun kedua keluarga korban tersebut yakni Lenny Damanik dalam kasus penyiksaan terhadap anaknya MHS (15) dan Eva Meliani br Pasaribu dalam kasus Pembunuhan Berencana dengan Pembakaran satu keluarga di Kabupaten Karo (para pemohon) yang diduga kuat melibatkan anggota TNI.

Direktur LBH Medan Irvan Saputra mengatakan Judicial Review dilatarbelakangi atas penanganan perkara di Pengadilan Militer yang sangat jauh dari Keadilan. ” Pasal 9 angka 1 Undang-undang Peradilan Militer menyatakan Pengadilan Militer adalah Pengadilan yang mengadili tindak pidana, Frase ‘Mengadili Tindak Pidana’ seyogianya menciptakan ketidakpastian hukum sebagaimana yang disyaratkan konsep negara hukum dan Hak Asasi Manusia,” ungkapnya dalam siaran persnya di Medan, Selasa (16/12/2025).
Menurut dia, Frase Mengadili tindak pidana secara terang-benderang telah merugikan hak konstitusional para pemohon, sehingga menyebabkan seorang TNI yang diduga melakukan tindak pidana umum masih disidangkan di Pengadilan Militer yang nyata-nyata telah bertentangan dengan pasal 65 ayat (2) UU TNI.
” Secara fakta hal ini telah terjadi terhadap Lenny Damanik dan laninya (MAF) di Pengadilan Militer I-02 Medan. Begitu juga dengan Eva Meliani br Pasaribu yang mengalami kerugian secara potensial,” ucapnya.

Ketidakadilan peradilian militer terlihat jelas ketika anggota TNI yang menjadi terdakwa harus diadili oleh Hakim, dituntut Oditur dan dibela penasehat hukum yang keseluruhannya merupakan anggota TNI.
” Oleh karena itu sudah barang tentu secara hukum tidak adanya keadilan yang objektif di pengadilan militer. Bahkan dewasa ini pengadilan militer diduga menjadi tempat pelanggengan Impunitas,” tegasnya.
Begitu pula, tambahnya, fakta yang tidak terbantahkan, publik secara jelas bisa melihat dan mendengar dalam kasus penyiksaan terhadap seorang anak berinisial MHS (15) yang masih segar dalam ingatan bagaimana perkara yang diadili di Pengadilan Militer I-02 Medan saat itu memeriksa dan mengadili Sertu Riza Pahlivi (terdakwa) hanya diputus 10 bulan penjara.
Dengan sebelumnya Oditur Militer hanya menuntut 1 tahun penjara. Bahkan parahnya selama proses persidangan pihak pengadilan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum semisal barang bawaan kuasa hukum, pengunjung sidang diperiksa/digeledah, harus meninggalkan KTP dan dilarang melakukan perekaman.
” Tuntutan dan putusan hakim Pengadilan Militer Medan merupakan pengkhianatan terhadap keadilan dan sangat merugikan para korban yang telah kehilangan nyawa anaknya/keluarganya. Sedangkan, untuk kasus pembunuhan berencana dengan pembakaran yang menyebabkan kematian satu keluarga wartawan (Ayah,Ibu,Adik dan Anaknya) di Karo, saat ini hanya menghukum 3 terdakwa sipil yang menjadi eksekutor lapangan dengan hukuman hanya seumur hidup,” ujarnya.
Dalam siaran pers tersebut, dia yang juga didampingi anggota Arta Sigalingging memaparkan bahwa sampai sekarang POMDAM I/BB belum juga menetapkan tersangka, padahal dugaan kuat keterlibatan Koptu HB dalam perkara itu secara jelas telah disampaikan di persidangan dan Eva juga telah menghadirkan alat bukti kepada penyidik Pomdam I/BB.
” Sehingga para pemohon mengalami kerugian secara konstitusional. Oleh karena itu Judicial Review terhadap UU Peradilan Militer yang diajukan Lenny Damanik dan Eva Meliani Pasaribu melalui kuasa hukumnya dari LBH Medan, Kontras, Imparsial dan Themis Indonesia Law Firm diharapkan bisa dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi RI agar ke depan tidak ada lagi korban yang tidak mendapatkan keadilan,” pungkasnya. (JJ)












