BLOKBERITA.COM – Vonis 2 tahun penjara yang dijatuhkan terhadap dua terdakwa oknum TNI AD Kodim 0204/DS oleh majelis hakim peradilan militer Medan disikapi pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan ‘sesuatu yang tidak masuk akal’.
Demikian pernyataan itu disampaikan Direktur LBH Medan Irvan Saputra didampingi Arta Ida Suryani dalam siaran pers di Medan, Senin (11/08/2025).
” Perlu diketahui kasus pembunuh terhadap MAF (13) telah melibatkan 4 orang terdakwanya. Dua diantaranya masayarakat sipil dan dua lainnya adalah prajurit TNI. Dari dua orang sipil itu diketahui bernama Agung Pratama alias Sikumbang dan M Abdillah Akbar yang sebelumnya diputus 4 tahun penjara oleh hakim dikarenakan berasalah melakukan tindak pidana pembunuhan atau pasal 338 jo pasal 55 KUHPidana serta didenda 50 juta rupiah di Pengadilan Negeri Sei Rampah,” ungkapnya.
” Sedangkan dua anggota TNI tersebut dihukum jauh lebih ringan dengan hukuman penjara 2 tahun dan 6 Bulan. Inikan suatu putusan yang tidak masuk akal yang menunjukkan sulitnya masyarakat mendapatkan keadilan di Peradilan Militer,” tambahnya.
Jadi, menurut pihaknya, dengan adanya perbedaan pemberian hukuman antara dua oknum TNI (pelaku penembakan) alamarhum MAF yang mendapatkan hukuman sangat ringan. Padahal bila dibandingkan dengan dua orang masyarakat sipil yang hanya memiliki peran membawa serta dan berada di mobil, adalah bentuk ‘preseden buruk’ penegakan hukum di Peradilan Militer Medan.
” Ini menegaskan lemahnya akuntabilitas dan potensi konflik kepentingan dalam Peradilan Militer,” sebutnya.
Seharusnya, kata dia, militer sebagai bagian dari institusi negara wajib tunduk pada prinsip akuntabilitas dan supremasi sipil yang menempatkan kekuasaan militer di bawah kendali hukum dan pengawasan sipil yang sah. Dalam konteks negara demokratis yang menghormati hak asasi manusia, kekuatan bersenjata tidak dapat berdiri di luar sistem hukum yang berlaku, apalagi bertindak sewenang-wenang terhadap warga sipil.
Ketika militer melakukan pelanggaran, termasuk kekerasan terhadap anak atau warga sipil lainnya, maka pertanggungjawaban tidak boleh hanya berhenti pada pelaku individual, tetapi juga mencakup mekanisme institusional untuk memastikan pengawasan efektif, transparansi proses hukum dan pemulihan bagi korban.
” Oleh karenanya, pengabaian terhadap prinsip ini membuka ruang impunitas dan mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga negara,” tegasnya.
Dikatakan, mencuatnya kasus penembakan terhadap anak dalam kasus ini merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak-hak anak yang dijamin secara tegas oleh hukum nasional maupun instrumen internasional.
Tindakan kekerasan bersenjata yang dilakukan oleh aparat militer tidak hanya merampas nyawa seorang anak yang masih berada dalam masa tumbuh kembang, tetapi juga mencederai prinsip perlindungan anak sebagai subjek hukum yang harus diprioritaskan.
Sebagaimana diatur dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945, pasal 21 Undang-Undang Perlindungan Anak No 35/2014, serta pasal 6 dan pasal 37 Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi Indonesia.
” Peristiwa ini mencerminkan kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban untuk melindungi setiap anak dari kekerasan dan dari tindakan yang mengancam hak hidupnya,” terangnya.
Terlebih bila Negara, melalui aparatur bersenjatanya, justru menjadi pelaku pelanggaran yang secara hukum tidak hanya menimbulkan tanggung jawab pidana individual, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban negara atas kegagalannya menjamin keamanan dan keselamatan warganya, khususnya kelompok rentan seperti anak-anak.
Disisi lain, pihak LBH Medan menyampaikan pula bahwa tidak hanya kasus tersebut, melainkan saat ini Peradilan Militer Medan juga sedang menangani kasus anak lainnya yaitu MHS (15).
” Parahnya lagi, hingga kini terdakwa tidak ditahan. Oleh karena itu, momentum ini menjadi evaluasi terhadap penegakan hukum di Peradilan militer dan LBH Medan mengajak masyarakat untuk mengawal setiap proses hukum yang sedang dijalani,” pungkasnya. (J J)