BLOKBERITA.COM – Atas adanya dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam Perkara Register No: 67-K/PM.I-02/AD/VI/2025 tertanggal 20 Oktober 2025 yang telah menyatakan Terdakwa Sertu Riza Pahlivi secara sah dan menyakini bersalah melakukan kealpaan/kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain, namun majelis hakim hanya menghukum terdakwa dengan 10 bulan penjara dan cuma memberikan restitusi kepada ibu korban.
” Putusan sangat ringan itu diduga sudah melanggar prinsip-prinsip berprilaku adil, arif dan bijaksana serta tidak profesional, maka LBH Medan telah membuat pengaduan ke Komisi Yudisial RI dan Badan Pengawas Mahkamah Agung RI pada Kamis, 6 November 2025,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Irvan Saputra didampingi Richard SD Hutapea dalam siaran pers di Medan, Senin (10/11/2025).

Menurut dia, berkaca dari putusan kasus MHS dan beberapa kasus-kasus lainnya seperti MAF, penyerangan warga si biru-biru juga diputus ringan dan tidak memberikan keadilan. Dan sudah sepatutnya secara hukum LBH Medan mendesak Mahkamah Agung untuk mencopot kepala Pengadilan Militer I-02 Medan dan Pemerintah untuk melakukan Reformasi Peradilan Militer.
LBH Medan juga menduga tindakan terdakwa diduga telah melanggar pasal 76c jo pasal 80 ayat (3) Undang Undang RI Nomor 35/2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
” Tidak hanya itu perbuatan tindakan terdakwa telah bertentangan dengan UUD 1945, KUHPidana, UU HAM, DUHAM dan ICCPR, CRC tentang konvensi hak atas anak,” jelasnya.
Disebutkan, putusan Pengadilan Militer I/02 Medan melalui Majelis Hakim Letkol ZS sebagai Hakim Ketua, Mayor IZ dan Mayor HW masing-masing sebagai Hakim Anggota itu justru telah melukai rasa keadilan Lenny Damanik yang merupakan ibu kandung dari MHS (15) dan masyarakat.
Pasca mendengar putusan hakim, Lenny Damanik tidak kuasa menahan tangis. Lenny juga tidak mendapatkan keadilan untuk kedua kalinya dikarenakan putusan hakim Pengadilan Militer I-02 Medan yang sangat ringan, bahkan lebih ringan dari maling ayam.
Keluarga korban yang mendengar putusan Majelis hakim, seketika histeri dan menangis, karena terdakwa hanya dijatuhi hukuman 10 bulan penjara. Bahkan mengatakan Kalau begitu hukumannya maka akan membunuh semua orang.
Keluarga korban menduga adanya Kejanggalan dalam putusan a quo. Ketika majelis hakim dalam pertimbangan menyatakan tidak ditemukan jejas/ bekas luka pada tubuh korban.
Padahal tertuang dalam Putusan jelas disebutkan ditemukan dibagian perut korban dan terdapat luka di kening korban yang mengakibatkan jatuhnya korban dari rel ke bawah jembatan yang tingginya sekitar 2 meter.
Kejanggalan putusan semakin jelas ketika pertimbangan hukum lainnya menyatakan jika terdakwa tidak melakukan penyerangan terhadap korban. Padahal menurut keterangan dari Saksi, Ismail Syahputra Tampubolon, yang melihat langsung jika korban diserang dan akibatnya terjatuh di sela rel.
Keterangan Ismail selaras dengan keterangan saksi Naura Panjaitan yang mengatakan jika ada terjadi pemukulan yang mengakibatkan seorang anak terjatuh di bawah rel. Namun dikarenakan Naura Panjaitan meninggal dunia sehingga tidak dapat dihadirkan dalam persidangan.
” Secara hukum kejanggalan kasus MHS terlihat jelas ketika Sertu Riza Pahlivi tidak ditahan sejak proses penyidikan dan penuntutan. Padahal perbuatan terdakwa telah menyebabkan kematian anak dibawah umur,” terangnya.
Bahkan, tambah praktisi hukum muda itu, secara terang benderang hukum telah dipermainkan ketika Oditur Militer melalui Letkol M Tecki Waskito yang seharusnya memperjuangkan keadilan terhadap korban, tapi hanya menuntut terdakwa 1 (satu) tahun penjara.
Ibu korban menilai tuntutan Oditur Militer sangat tidak sebanding dengan perbuatan terdakwa. Dimana tuntutannya sangat jauh dari acaman hukuman 15 tahun penjara sebagaimana yang diatur dalam pasal 76 c jo 80 ayat (3) Undang-undang Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
” Oleh karenanya, menyikapi hal tersebut LBH Medan sebagai lembaga yang fokus terhadap penegakan hukum dan HAM sekaligus kuasa hukum ibu korban menduga majelis hakim yang menangani perkara MHS telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor: 04/KMA/SKB/IV/2000 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,” pungkasnya. (JJ)












