BLOKBERITA.COM – Ketua Umum Aliansi LSM Ormas Peduli Kepri, Ismail Ratusimbangan, mengungkapkan adanya sejumlah kejanggalan dalam pengelolaan tenaga kerja di First Club Entertainment Batam. Temuan itu meliputi dugaan pelanggaran ketenagakerjaan, keberadaan tenaga kerja asing (TKA) tanpa izin lengkap, hingga dugaan kekerasan terhadap karyawan.
Menurut Ismail, pihaknya telah meminta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) guna membahas persoalan tersebut secara terbuka.
“Kami mempertanyakan jumlah TKA yang bekerja di sana, jenis pekerjaan mereka, serta visa yang digunakan. Semua itu harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Ismail kepada sejumlah media, Jumat (31/10/2025).
Ismail menegaskan, RDP digelar bukan untuk menjatuhkan pihak tertentu, melainkan demi meluruskan informasi publik dan memastikan kepatuhan hukum di sektor hiburan malam.
“Tujuan kami agar ke depan tidak ada lagi kabar simpang siur, baik dari internal perusahaan maupun di publik. Jika memang tidak ada pelanggaran, tentu tidak perlu ada yang dikhawatirkan,” tegasnya.
Aliansi berencana menghadirkan Kantor Imigrasi Batam dalam forum RDP untuk memberikan klarifikasi terkait legalitas tenaga kerja asing di perusahaan tersebut.
Sebelumnya, berbagai media memberitakan bahwa First Club Entertainment menjadi sorotan publik karena sejumlah kontroversi, seperti dugaan menampilkan tarian erotis, penggunaan DJ asing tanpa izin, hingga dugaan keterlibatan karyawan dalam peredaran narkoba dan kasus pengeroyokan antarpekerja yang berujung pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Lebih jauh, Ismail mengungkap adanya laporan dugaan penyiksaan terhadap seorang TKA asal Tiongkok bernama Mr. Ran, yang dituding menggelapkan uang perusahaan.
“Ia dikabarkan disiksa hingga babak belur atas perintah Andi Yap alias Andi Morena, pemilik First Club, sebelum akhirnya diam-diam dipulangkan ke negaranya,” ujarnya.
Ismail juga menyoroti struktur manajemen perusahaan yang dianggap tidak sesuai dengan status hukum perusahaan. Menurutnya, First Club berstatus Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), namun memiliki dua struktur manajemen: lokal dan asing.
“Manajemen asing yang dipimpin oleh Mr. Ye Mao selaku General Manager justru memegang kewenangan penuh dalam perekrutan dan pemecatan karyawan. Berdasarkan regulasi, hal itu tidak seharusnya terjadi di perusahaan PMDN,” jelas Ismail.
Sementara itu, posisi Asisten Manajer dijabat oleh warga lokal bernama Bambang, namun disebut hanya menjalankan instruksi dari General Manager dan pemilik perusahaan.
Selain persoalan tenaga kerja, Ismail juga mengungkap sejumlah pelanggaran hak karyawan, seperti belum terdaftarnya sebagian pekerja di BPJS Ketenagakerjaan, serta pemotongan gaji bagi pekerja yang tidak masuk kerja karena sakit.
“Kalau karyawan sakit, biaya berobat harus ditanggung sendiri, bahkan surat dokter tidak diakui. Ini jelas tidak manusiawi,” ujarnya.
Aliansi turut menyoroti persoalan pajak hiburan malam sebesar 40 persen yang disetor ke Pemerintah Kota (Pemko) Batam.
“Kami ingin tahu apakah pajak hiburan dan pajak penghasilan bagi TKA serta pemodal asing seperti Mr. Hong telah dibayarkan kepada negara,” tambah Ismail.
Ia menilai lemahnya pengawasan dari beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Dinas Pendapatan, Dinas Pariwisata, dan Satpol PP Kota Batam, menyebabkan pelanggaran di sektor hiburan malam terus berulang.
“Kami tidak punya kepentingan lain selain memastikan investasi di Batam berjalan sesuai hukum. Kami mendukung penuh Pemko Batam menegakkan aturan dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor hiburan malam. Ini juga sejalan dengan program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto,” pungkas Ismail.
Aliansi berharap, RDP DPRD Batam nantinya mampu mengungkap seluruh persoalan di First Club Entertainment secara terang benderang, sehingga publik memperoleh informasi yang objektif dan transparan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak manajemen First Club Entertainment belum dapat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp.(bb/**)












