Banjir di Parapat, Mencuat Dugaan Pemda Lalai Awasi Tata Ruang DAS Bolon Simalungun

BLOKBERITA.COM – Perdebatan mengenai penyebab banjir di Parapat ramai diperbincangkan di media sosial dan media massa. Sebagian pihak menyatakan bahwa hujan deras menjadi faktor utama meluapnya Sungai Batu Gaga, yang kemudian membawa bebatuan dan lumpur ke pemukiman warga.

Namun, banyak pula yang berpendapat bahwa penyebab utama banjir adalah kerusakan hutan di kawasan hulu, terutama di sekitar Bangun Dolok. Hal ini ditegaskan oleh Ephorus HKBP, Pdt. Dr. Tinambunan, dalam konferensi pers pada 17 Maret 2025. “Banjir Parapat bukan ujian dari Tuhan atau suratan tangan, ini adalah akibat ulah manusia yang merusak alam ciptaan Tuhan,” ujarnya.

Pernyataan tersebut didukung oleh hasil investigasi yang dilakukan oleh KSPPM, AMAN, dan Auriga Nusantara. Berdasarkan analisis spesial dan penelitian di lapangan, ditemukan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir telah terjadi pembukaan hutan yang signifikan di 5 Kecamatan sekitar Parapat, yaitu Girsang Sipangan Bolon, Dolok Panribuan, Pematang Sidamanik, Hatoguan, dan Jorlang Hataran. Lima kecamatan merupakan landskap satu daerah aliran Sungai Bolon Simalungun (Sumber: BP DAS).

Pada tahun 2000, luas hutan alam di wilayah tersebut mencapai 10.348 hektar. Namun, angka ini terus menyusut hingga tersisa hanya 3.614 hektar pada tahun 2023. Periode dengan kehilangan hutan terbesar terjadi pada tahun 2005-2010, di mana 2.779 hektar hutan hilang.

Sementara itu, dalam periode 2010-2025, kembali terjadi pengurangan tutupan hutan sebesar 2.366 hektar. Jika diakumulasi, dari tahun 2000 hingga 2022, kawasan ini telah kehilangan hutan alam seluas 6.148 hektar.

Perubahan ini sangat berpengaruh terhadap daya tampung air hujan dan stabilitas
tanah, yang akhirnya berkontribusi terhadap bencana banjir dan longsor.

Di periode yang sama terjadi peningkatan kebun kayu eukaliptus seluas 6.503 hektar.
Analisis ini membuktikan bahwa perubahan tutupan hutan di wilayah 5 kecamatan ini terjadi dan sebagian besarnya berubah menjadi eukaliptus.

PT. Toba Pulp Lestari (TPL) diketahui memiliki wilayah konsesi seluas 20.360 hektar di sektor Aek Nauli, Kabupaten Simalungun. Berdasarkan analisis perubahan tutupan hutan alam yang dilakukan oleh tim, terjadi deforestasi signifikan dalam kawasan konsesi ini selama periode 2000 hingga 2023.

Diketahui pada tahun 2000, luas hutan alam di wilayah tersebut masih mencapai 10.348 hektar. Namun, angka ini terus menyusut hingga hanya tersisa 3.614 hektar pada tahun 2023. Total kehilangan tutupan hutan dalam kurun waktu tersebut mencapai 6.734 hektar.
Periode deforestasi terbesar terjadi antara tahun 2005-2010 dengan kehilangan hutan seluas 2.779 hektar, disusul periode 2010-2023 yang mengalami penyusutan lebih lanjut sebesar 2.336.

Peristiwa yang terjadi di Parapat pada 16 Maret lalu menunjukkan adanya kelalaian Pemerintah Daerah dalam mengawasi tata ruang di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Bolon-Simalungun.

Pembukaan lahan di kawasan DAS serta daerah terjal telah berkontribusi terhadap
terjadinya bencana yang berulang di Parapat.

Untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang, Pemerintah Daerah Simalungun harus mengambil langkah serius dalam mengevaluasi tata ruang, terutama di wilayah rawan bencana.

Selain itu, keberadaan perusahaan TPL di kawasan DAS Bolon yang telah menyebabkan perubahan tutupan hutan alam juga menjadi perhatian utama. Diperlukan tindakan tegas untuk menghentikan pembukaan hutan alam serta upaya pemulihan terhadap kawasan hutan yang sudah kritis. Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, risiko bencana akan terus mengancam wilayah tersebut.
(RS).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *