Kasus Kapolres Belawan Dinilai Stagnan, LBH Medan : Transparansi Publik Jangan Ada Ditutupi

Direktur LBH Medan Irvan. (foto : dok)

BLOKBERITA.COM – Hingga kini publik/masyarakat belum mendapatkan kepastian hukum atas kasus Kapolres Belawan AKBP Oloan Siahaan yang diduga melakukan penembakan terhadap dua anak di bawah umur hingga mengakibatkan seorang meninggal dunia dan satu lainnya mengalami luka-luka.

Hal itu dikemukakan pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan selaku konsern terhadap penegakan hukum dan menjunjung tinggi keadilan dalam keterangan persnya di Medan, Kamis (12/06/2025).

Direktur LBH Medan Irvan Saputra didampingi anggota Yasser Alfan menyatakan ketegasan pihaknya dan meminta Kapolda Sumatera Utara/Divisi Propam Mabes Polri harus segera menyampaikan perkembangan pemeriksaan secara terbuka.

” Kapolres Belawan Oloan Siahaan harus segera dikenakan sanksi etik berat berupa Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH), mengingat pelanggaran menyangkut hilangnya nyawa anak di bawah umur,” tegasnya.

Selain itu, tambahnya, proses pidana harus segera dilakukan melalui penegakan hukum terkait UU Perlindungan Anak jo KUHP.

Lembaga independen seperti Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Ombudsman RI harus terlibat untuk menjamin proses agar berjalan objektif dan berkeadilan.

” Dan negara wajib menjamin hak atas kebenaran, keadilan, pemulihan, jaminan ketidakberulangan bagi keluarga korban,” sebutnya.

Sebagaimana diketahui, bahwa peristiwa yang terjadi di daerah hukum Polres Belawan itu merupakan tragedi serius dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Serta berpotensi kuat sebagai bentuk extra Judicial Killing (Pembunuhan Diluar Hukum).

Informasi terakhir yang diperoleh dari pemberitaan media tertanggal 5 Mei 2025, menyebut AKBP Oloan Siahaan telah dinonaktifkan dan dikenai tindakan penempatan khusus (Patsus) di Mabes Polri.

Akan tetapi pasca di Patsus hingga saat ini tidak ada perkembangan signifikan atau transparansi kelanjutan dari penegakan hukum terhadap Oloan Siahaan. Faktanya kini kasus tersebut senyap atau bahkan menghilang. ” Hal ini jelas menambah kecurigaan publik terhadap kemungkinan impunitas dalam tubuh institusi Polri,” tegasnya.

LBH Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan HAM menilai jika penonaktifan serta Patsus itu tidak dapat dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum. Melainkan harus dilakukan penegakan etik dan hukum pidana.

” Apalagi mengingat dugaan tindak pidana tersebut menghilangkan nyawa seorang anak. Maka sudah barang tentu penegakan hukum atas tindak pidana ini harus diproses. Agar tidak terjadi lagi dikemudian hari dan tidak pula menjadi pembenaran,” ungkapnya.

Disamping itu, LBH Medan menilai tindakan penembakan Kapolres Belawan telah melanggar hak hidup yang dijamin UU No 39/1999 tentang HAM. Dimana Hak Hidup merupakan Hak asasi paling dasar/fundamental yang notabenenya tidak dapat dikurangi.

Perlu diketahui 2 korban adalah anak, maka dugaan pelanggaran semakin berat sebagaimana berdasarkan UU Perlindungan Anak No 35/2014, yang mengancam pidana hingga 15 tahun dan denda miliaran untuk kekerasan berujung kematian.

” Secara etik, tindakan ini bertentangan dengan Kode Etik Polri (Perkap No. 14/2011), yang melarang penyalahgunaan wewenang dan penggunaan kekuatan berlebihan. Dimana apabila terbukti anggota polri dapat dikenai sanksi pemecatan/ Pemberhentian Tidak Dengan Hormat,” ucapnya.

Dugaan Penembakan tersebut adalah penyalahgunaan kewenangan dan pengkhianatan nilai keadilan. Oleh karena itu negara harus segera menindak tegas dengan melakukan penegakan hukum yang objektif dan transparan demi keadilan terhadap korban dan publik. Serta mencegah terjadinya impunitas terhadap aparat penegak hukum.

Dilain sisi, Kontras Sumut juga melakukan investigasi dan menemukan hal sebagai berikut: Pertama, penggunaan senjata api kapolres pelabuhan belawan diduga kuat menabrak prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.

Kedua, peluru polisi terbukti gagal menghentikan problem tawuran di belawan. yang muncul justru pelanggaran HAM.

Ketiga, adanya dugaan upaya mengaburkan peristiwa penembakan dan menggiring isu secara sepihak.

Penggiringan narasi publik bukan sekedar beda pendapat tetapi adanya dugaan upaya membungkam keadilan dan menutupi pelanggaran HAM.

Selanjutnya, pasca LBH Medan menyuarakan kasus penembakan terhadap 2 anak dibawah umur yang diduga di lakukan oleh Kapolres Belawan sempat mengapresiasi tindakan cepat Kapolda Sumut yang mengambil langkah tepat dan benar berupa penonaktifan terhadap Kapolres Belawan, ditemukan adanya dugaan penggiringan narasi publik yang seakan-akan tindakan tersebut dapat dibenarkan secara hukum.

” Bahkan, penggiringan narasi tersebut seakan-akan memberi kesan bahwa tindakan yang telah dilakukan oleh Kapolda Sumut adalah keliru, padahal justru sebaliknya,” tukasnya.

Tindakan kapolres belawan diduga bertentangan dengan aturan hukum yaitu melanggar Undang-Undang Dasar 1945, UU HAM, UU Perlindungan Anak, KUHP, Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap 8 Tahun 2009 tentang Implementasi dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Serta tindakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia. (JJ)

Baca berita terkini di Blokberita.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *