Satu Tahun Ditetapkan Sebagai Tersangka & Berkas Tak Kunjung P21, LBH Medan Ajukan Praperadilan Terhadap Kapolda Sumut Serta Jajarannya

bukti laporan pengajuan praperadilan. (foto : dok)

BLOKBERITA.COM – Pepatah yang menyebutkan bahwa ‘Hukum Tumpul Ke Atas Tapi Tajam Ke Bawah’ telah dialami korban selaku isteri dalam kasus dugaan tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh mantan suaminya berinisial AW.

Padahal, suami korban itu telah ditetapkan sebagai tersangka pada 25 Maret 2023 oleh penyidik Polrestabes Medan. Namun, hingga kini laporan dari korban tersebut tidak kunjung pernah untuk disidangkan atau dengan kata lain berkas perkaranya itu belum juga dikatakan P-21 (lengkap) oleh pihak penyidik.

” Secara hukum sekitar April tahun 2023 korban telah melaporkan dugaan Tindak Pidana KDRT ke Polrestabes Medan dengan Nomor Laporan Polisi : LP/B/1219/IV/2023/SPKT/POLRESTABES MEDAN/POLDA SUMATERA UTARA. Dan bisa dikatakan sudah 2,5 tahun berlalu atas laporan tersebut AM pun telah ditetapkan sebagai Tersangka. Namun anehnya, hingga kini laporan dari korban itu tidak juga dikatakan lengkap (P21) atau dengan kata lain tak pernah disidangkan di pengadilan,” kata Irvan Saputra didampingi Annisa Pertiwi selaku penasehat hukum (PH) dari Lembaga Bantuan Hukum Medan dalam keterangan pers, kemarin.

Oleh karenanya, mengetahui adanya kejanggalan dalam penyidikan yang dilakukan unit PPA Polrestabes Medan tersebut, korban pun telah mencari tahu apa yang menjadi penyebab laporannya tidak juga P21. Alhasil setelah melakukan penelusuran secara hukum ternyata penyidik Unit PPA Polrestabes Medan tidak pernah mau untuk melengkapi ‘Petunjuk’ dari pihak Jaksa pada Kejaksaan Negeri Medan.

” Korban padahal telah menyampaikan keberatannya baik lisan dan tulisan secara berulang kali kepada penyidik pembantu, Kanit PPA, Kasat Reskrim, Kapolrestabes Medan dan Kapolda Sumut. Tapi apa hendak dikata sampai saat ini laporan korban itu tidak juga  P21,” jelasnya.

Menurut dia, yang juga direktur LBH Medan itu, pasca menyampaikan keberatan kepada Kapolda Sumut dan jajarannya, laporan korban tetap tidak kunjung P21. Korban patut menduga jika Penyidik Polrestabes Medan khusus Unit PPA telah melakukan Penghentian Penyidikan (SP-3) secara diam-diam.

” Dan hal itu tentunya bertentangan dengan KUHAP maka, selaku penasehat hukum, kita telah mendaftarkan untuk praperadilan terhadap Kapoldasu dan jajarannya,” tegasnya.

Sebagaimana diketahui adalah Monica (38), seorang ibu rumah tangga dengan dua anak EAH (7) dan CDH (3) telah menjadi korban KDRT oleh suami/ayah dari anak-anaknya.

Perlu diketahui sebelumnya korban telah menghadirkan alat bukti diantaranya menghadirkan saksi-saksi, surat/visum pemeriksaan medis dari RSUD Universitas Sumatera Utara M Surya Husada yang dilakukan berdasarkan rujukan resmi dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Medan dan pihak kepolisian juga sudah mengambil rekaman medik dari Dokter Amir dan dan rekam medik dari M Surya Husada serta petunjuk (screenshoot percakapan dan rekaman suara korban & tersangka).

” Namun parahnya penyidik tidak juga melengkapi apa yang menjadi petunjuk Jaksa hingga kasus ini sampai sekarang tidak kunjung P21. Maka dapat dikualifikasi tindakan penyidik itu telah melanggar hukum dan menimbulkan kerugian kepada korban sebagai pencari keadilan,” tegasnya.

Selain itu, diketahui jika Kejaksaan Negeri Medan telah mengembalikan SPDP beserta turunannya kepada penyidik. Maka dengan tidak dilengkapi petunjuk jaksa dan bahkan telah dikembalikan SPDP, patut secara hukum korban menilai jika penyidik telah melakukan penghentian penyelidikan secara diam-diam.

Berkaca dari tindakan tersebut penyidik diduga telah melakukan pengabaian terhadap asas keadilan dan kepastian hukum terhadap Korban. Serta melanggar prinsip-prinsip due process of law sebagaimana dijamin dalam pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bertentangan dengan UU 39/1999 tentang HAM, ICCPR & DUHAM.

Tidaknya hanya itu penyidik telah melanggar pasal 138 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang secara tegas menyatakan bahwa apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan belum lengkap, maka penyidik wajib segera melengkapi berkas perkara sesuai dengan waktu 14 hari sejak penerimaan berkas.

Lebih jauh dikatakan, tindakan penyidik yang tidak melaksanakan kewajibannya secara tepat waktu juga bertentangan dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7/2022 tentang Kode Etik Profesi Polri, khususnya pada pasal 5 ayat (1) huruf c dan d.

” Yang mengatur bahwa setiap anggota Polri wajib menjalankan tugas secara profesional, akuntabel dan bertanggung jawab serta menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil,” pungkasnya. (J J)

Baca berita terkini di Blokberita.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *