LBH & KontraS Laporkan Oknum Polisi Terkait Aksi Demo Warga Yang Kena Siksa

korban DS menunjukkan bukti laporan yang dibuatnya depan SPKT Polda Sumut. (foto : dok)

BLOKBERITA.COM – Pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut menyampaikan sikap tegas terkait dugaan penyiksaan yang dialami seorang warga berinisial DS saat berlangsungnya aksi unjuk rasa di Kota Medan pada Sabtu (30/08/2025).

Kedua lembaga itu secara hukum telah mendampingi DS untuk melaporkan dugaan penyiksaan tersebut ke Polda Sumut. Laporan itu menjadi bukti nyata buruknya penghormatan terhadap hak asasi manusia di tubuh institusi Polri, khususnya Polda Sumut.

Sekaligus menambah panjang catatan praktek kekerasan sejumlah oknum aparat terhadap masyarakat sipil yang tengah menjalankan hak konstitusionalnya untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

LBH Medan dan KontraS jelas mengutuk keras segala bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi oleh sejumlah oknum aparat kepolisian, khususnya Polda Sumut, yang seharusnya menjalankan mandat untuk melindungi masyarakat.

Selain itu, dengan tegas pula menyatakan bahwa kejadian tersebut adalah pelanggaran HAM serius yang harus diusut tuntas melalui mekanisme pidana dan etik.

” LBH Medan mengutuk keras tindakan brutal yang diduga dilakukan oknum aparat kepolisian Polda Sumut terhadap DS, menuntut Kapolda Sumut segera menonaktifkan dan mengusut secara serius oknum aparat yang terlibat hingga proses hukum selesai, serta mendorong Propam Polri, Komnas HAM dan Kompolnas untuk segera turun tangan melakukan penyelidikan independen,” kata Direktur LBH Medan Irvan Saputra pada pers, Senin (01/09/2025).

Hingga kini, katanya, Polda Sumut belum mengungkap identitas oknum yang diduga sebagai pelaku penyiksaan terhadap DS. Padahal video penyiksaan tersebut telah viral beredar luas di masyarakat.

” Atas adanya tindakan brutalitas kepolisan daerah Sumut, LBH Medan dan Kontras Sumut menuntut Presiden Republik Indonesia untuk segera mencopot Kapolda Sumut yang telah gagal menjalankan tugas dan kewajibannya dalam melindungi serta menghormati hak asasi manusia warga negara,” imbuhnya.

Dikatakan, kekerasan terhadap DS memperlihatkan bahwa institusi kepolisian belum berhasil melepaskan diri dari budaya kekerasan (culture of violence) yang bertentangan dengan semangat reformasi Polri pasca-1998.

Menurut catatan LBH Medan dan KontraS, juga menunjukkan adanya pola berulang tindakan represif aparat di Sumut dalam menghadapi aksi demonstrasi. Alih-alih mengedepankan pendekatan persuasif, aparat justru menggunakan kekerasan, intimidasi, hingga penangkapan sewenang-wenang.

” Untuk itu, kami menuntut agar Polda Sumut menindaklanjuti laporan DS secara cepat, transparan dan profesional,” tegasnya.

LBH Medan dan KontraS juga mendesak Komnas HAM melakukan penyelidikan pro justicia terhadap dugaan pelanggaran HAM dalam kasus DS, meminta Kompolnas melakukan investigasi kelembagaan, serta menuntut Presiden RI dan Kapolri segera melakukan reformasi Polri secara menyeluruh dengan mengakhiri kultur kekerasan aparat.

Kasus DS adalah alarm keras bagi demokrasi Indonesia, sebab penyiksaan terhadap warga negara merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan sekaligus pelanggaran konstitusi. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi rakyat dan menjamin kebebasan berpendapat, bukan justru menjadi aktor pelanggaran.

” Kami mengajak publik, media, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil untuk mengawal kasus ini hingga tuntas. Tanpa akuntabilitas, kekerasan aparat akan terus berulang dan mengancam kebebasan sipil,” sebutnya.

” Hak konstitusional rakyat untuk menyampaikan pendapat adalah tiang demokrasi yang tidak boleh dihancurkan oleh penyiksaan aparat. Polisi harus melindungi, bukan menyiksa,” tambahnya.

Dari keterangan korban, saksi, serta bukti awal yang dihimpun, kejadian bermula ketika berlangsungnya aksi unjuk rasa di Medan. Korban DS, yang bukan peserta aksi, hanya menyaksikan jalannya demonstrasi. Namun, saat ingin melihat kericuhan yang terjadi massa aksi berlari kearahnya.

Kemudian beberapa oknum yang diduga aparat kepolisian Polda Sumut tiba-tiba menangkap, menyeret, memukul, menjambak rambut dan menginjak kepala DS secara brutal hingga korban kejang-kejang di tempat dan tidak sadarkan diri.

Tindakan tersebut secara langsung jelas telah merendahkan martabat manusia, menimbulkan luka fisik, trauma psikis, serta memperlihatkan adanya praktek penyiksaan dan penggunaan kekerasan yang berlebihan (excessive use of force) yang sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Padahal, UUD 1945 pasal 28E ayat (3), UU Nomor 9/1998, UU Nomor 39/1999 tentang HAM, hingga Konvensi Anti Penyiksaan yang diratifikasi melalui UU No 5/1998, dengan tegas menyatakan telah menjamin kebebasan berkumpul, berpendapat, serta melarang praktek penyiksaan dalam bentuk apa pun. (J J)

 

Baca berita terkini di Blokberita.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *