BLOKBERITA.COM – Walau menyambut baik penyelidikan dan penyidikan dari pihak Polrestabes Medan dan jajarannya terkait dugaan tindak pidana pembakaran rumah hakim Pengadilan Negeri Medan Kelas IA Khusus Khamozaro Waruwu.
Namun, pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menilai bahwa keengganan Kapolrestabes Medan untuk menguraikan penyebab sakit hati sebagai motif tersangka menimbulkan tanda tanya besar baik mengenai apa yang membuat tersangka sakit hati, sejak kapan tersangka sakit hati dan sejak kapan tersangka itu sudah tidak berkerja pada korban (hakim Khamozaro)?
” Jelas hal ini telah menimbulkan pertanyaan terhadap publik apakah benar perbuatan tersangka FA yang dikatakan sebagai ‘dalang’ hanya dilandaskan dengan motif sakit hati dan dendam?,” tanya Direktur LBH Medan Irvan Saputra didampingi Richard SD Hutapea dan Siti Khadijah Daulay dalam siaran persnya, Senin (24/11/2025).
Disebutkan, dalam konferensi persnya, Kapolrestabes Medan telah memaparkan kronologis mulai dari pra pembakaran (persiapan), saat pembakaran dan pasca pembakaran (proses penangkapan para tersangka, penyitan barang bukti/alat yang digunakan dan hasil dari dugaan tindak pidana Pembakaran) rumah Hakim Khamozaro.

Ditambah lagi penyidik juga belum menjelaskan bagaimana tersangka 1 dan 2 bisa saling mengenal. Karena langkah ini penting untuk memastikan bahwa kesimpulan motif tidak dibuat secara tergesa-gesa dan tetap berada dalam koridor objektivitas serta standar penyidikan yang benar.
” Tetapi, waktu sesi tanya jawab, salah seorang wartawan melontarkan pertanyaan yang menanyakan apa penyebab tersangka FA sakit hati terhadap korban?, apakah tersangka dipecat atau ada hal yang lebih privat dan kapan tersangka terakhir bekerja dengan korban?. Atas adanya pertanyaan itu Kapolrestabes Medan tidak menjawabnya,” jelas LBH Medan.
” Oleh karena itu motif sakit hati dan dendam tersebut menurut LBH Medan janggal dan harus diterangkan kepada publik khususnya Hakim Khamozaro dan keluarganya, serta MA Agung RI dalam hal ini diwakilkan Pengadilan Negeri Medan,” tambahnya.
Menurut LBH Medan, bahwa korelasi antara motif ‘sakit hati’ yang disampakain tersangka kepada penyidik belum memberikan penjelasan menyeluruh atas rangkaian peristiwa tersebut.
Sebab, motif yang disandarkan semata pada pengakuan tersangka secara hukum tidak dapat diterima begitu saja. Terlebih pada pasal 175 KUHAPidana yang menyatakan, tersangka memiliki hak untuk ingkar/berbohong.
” Termasuk hak untuk tidak menjawab, menyangkal, atau memberikan keterangan yang tidak memberatkan dirinya,” terang LBH Medan.
Maka dari itu LBH Medan menilai dugaan tindak pidana pembakaran rumah hakim Khamozaro belum terang dan jelas atau ‘Clear’ secara hukum dan subtansi.
” Dengan demikian, penyidik seharusnya tidak menjadikan pengakuan tersangka sebagai satu-satunya dasar pembentukan motif, melainkan wajib melakukan verifikasi secara holistik, menelusuri fakta pendukung, serta menguji konsistensi keterangan dengan alat bukti lain yang relevan,” imbuh LBH Medan.
LBH Medan juga menyampaikan, jika ditelaah secara holistik, motif sakit hati tersangka tidak relevan atau tidak ada korelasinya dengan apa yang dialami Khamozaro sebelum kejadian pembakaran rumahnya.
Dimana publik secara nasional/khususnya warga Sumatra Utara yang membaca pemberitaan baik cetak maupun online mengetahui apa yang disampaikan hakim Khamozaro kepada awak media, yakni dirinya sering mendapatkan telpon dari nomor/orang yang tidak dikenal.
” Bahkan diduga Hakim Khamozaro sempat mendapatkan nada acaman saat menjadi Hakim Ketua yang menyidangkan dugaan tindak pidana Korupsi proyek jalan Sumatera Utara yang melibatkan Kepala Dinas PUPR Sumut Topan Ginting,” tukas LBH Medan.
Hal itu tentunya wajib dilakukan penyidik karena menyangkut keamanan penegak hukum dalam hal ini seorang Hakim dan penegakan hukum yang sedang dilakukannya sehingga nantinya memberikan keadilan kepada publik. (JJ)












