BLOKBERITA.COM – Anggota DPR RI, Syahrul Aidi Maazat mengusulkan agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011, tentang penanganan Fakir Miskin. Usulan ini dilatarbelakangi oleh pentingnya merekonstruksi pemahaman masyarakat terkait istilah ‘fakir’ dan ‘miskin’, yang selama ini dinilai tidak tepat dalam regulasi dan penanganan kemiskinan di Indonesia.
Politisi Fraksi PKS ini juga turut menyampaikan apresiasi terhadap kebijakan Presiden Prabowo atas komitmen yang ditunjukan, dalam pengentasan kemiskinan melalui Astacita hingga pembentukan badan khusus untuk percepatan pengentasan kemiskinan. Namun, Syahrul menilai bahwa masih ada kekeliruan dalam pengertian serta penanganan kemiskinan yang perlu segera diperbaiki.
“Tetapi pada kesempatan ini di awal pemerintahan Pak Prabowo, saya ingin memberikan pandangan bahwa perlu kiranya kita merekonstruksi penanganan kemiskinan di Indonesia ini, dengan merekonstruksi pemahaman kita pada istilah fakir miskin,” ungkapnya dalam interupsi Rapat Paripurna DPR RI Ke-9 Penutupan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025, di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (5/12/2024).
Menurutnya, dalam konstitusi Indonesia, tepatnya pada Pasal 34 Ayat 1 UUD 1945, disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Istilah fakir dan miskin yang digunakan dalam pasal tersebut merujuk pada kata dalam bahasa Arab, yang memiliki makna yang lebih dalam dan spesifik. Dalam ajaran agama Islam, kata fakir memiliki pengertian yang berbeda dengan kata miskin, yang perlu dipahami secara lebih tepat agar dapat memberikan dampak yang optimal dalam penanganannya.
Syahrul menjelaskan bahwa selama ini, dalam peraturan yang ada, baik itu dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 maupun regulasi lainnya, tidak ada pembeda yang jelas antara fakir dan miskin. Adapun yang membedakan fakir berdasarkan hasil penghasilannya. Padahal, menurutnya fakir dan miskin berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna yang berbeda.
Kata fakir dalam Bahasa Arab berasal dari kata ‘faqr’, yang berarti tulang punggung. Dalam pengertian ini, fakir adalah orang yang ‘patah tulang punggungnya’, yakni mereka yang tidak mampu bekerja karena kondisi fisik atau sakit kronis, yang tidak memungkinkan mereka untuk beraktivitas. Sementara itu, kata miskin merujuk pada orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka, tetapi masih memiliki kemampuan untuk bekerja.
“Oleh karena itu, orang fakir itu adalah orang yang tak mampu bekerja, atas dasar istilah ini maka klasifikasi miskin antara fakir dan miskin itu bukan berdasarkan pada penghasilan, tetapi berdasarkan pada kemampuan kerja. Kalau fakir yang tidak mampu bekerja inilah yang harus dijamin oleh pemerintah karena memang tidak bisa diberdayakan, mungkin dia sudah miskin cacat, miskin tua renta, miskin sakit kronis, stroke tumor dan lain-lain,” jelasnya.
Dengan demikian, pemahaman yang tepat adalah bahwa orang yang masuk kategori fakir adalah, mereka yang tidak dapat bekerja karena sakit, cacat, atau sudah tua renta, dan karena itu perlu mendapatkan bantuan dari negara. Sedangkan mereka yang miskin, meskipun memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan, tetap memiliki potensi untuk diberdayakan melalui program-program peningkatan ekonomi seperti pertanian, perkebunan, perikanan, hingga pemberdayaan UMKM.
Oleh karena itu, ia mengusulkan agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 untuk mengakomodasi perbedaan pemahaman antara fakir dan miskin ini. Dengan pemahaman yang lebih tepat, diharapkan pemerintah dapat memberikan bantuan yang lebih efektif dan tepat sasaran kepada masyarakat yang membutuhkan.
“Maksud saya adalah bahwasanya perlu kita merekonstruksi pemahaman kita tentang fakir miskin ini, karena berimplikasi pada penanganan kita terhadap fakir dan miskin. Kami sedang mengusulkan agar ada revisi undang-undang nomor 13 tahun 2011. Mudah-mudahan ini bisa kita dukung secara bersama-sama,” pungkasnya.(RS/**)