Sikap MADYA Terhadap Pemasangan Chairlift di Borobudur yang Menuai Polemik di Masyarakat

BLOKBERITA.COM – Pemasangan Chairlift di tangga Candi Borobudur timbulkan polemik di masyarakat. Hal ini berkaitan dengan rencana kedatangan Presiden Prancis, Emmanuel Macron bersama Presiden RI, Prabowo Soebianto ke Candi Borobudur yang direncanakan pada tanggal 29 Mei 2025.

Menyikapi Polemik yang ada, Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA) melalui koordinator, Jhohannes Marbun, S.S., M.A
memberikan beberapa catatan yaitu,
pada prinsipnya setiap aktivitas terhadap obyek cagar budaya seperti pemugaran, adaptasi dan kepentingan lainnya, wajib didahului dengan kajian sesuai dengan prinsip pelestarian yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, maupun pemantauan dan evaluasi termasuk dampak-dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas tersebut serta bagaimana mengecilkan atau meminimalisir kerusakan yang ada.

Madya mengapresiasi langkah Pemerintah RI dalam hal ini Kementerian Kebudayaan yang membuat keputusan dengan penuh, kehati-hatian terhadap pemasangan chairlift yang bersifat portable, yang mendesak dan tetap memperhatikan prinsip-prinsip pelestarian yang ada serta mencegah, seminimal mungkin kerusakan pada batu candi serta aman digunakan bagi penggunanya.

Sebenarnya panduan terkait penilaian dampak tersebut dapat merujuk pada panduan dan perangkat untuk penilaian dampak, dalam konteks warisan dunia (Guidance and Toolkit for Impact Assessments in a World Heritage Context, 2022) yang dibuat bersama UNESCO, ICCROM, ICOMOS, IUCN tahun 2022. Penilaian dampak (Impact Assessment) adalah suatu tahapan penting yaitu ‘berpikir sebelum bertindak’ (Morrison-Saunders 2018).

Ini memberikan informasi pada proses pengambilan keputusan dengan mengeksplorasi konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh tindakan, yang diusulkan terhadap obyek Warisan Dunia, khususnya mencakup pada Outstanding Universal Value (UOV) dari suatu obyek warisan dunia.

Prinsip-prinsip pelestarian dapat sejalan dengan isu-isu sektoral lainnya termasuk isu inklusivitas, pemenuhan hak dan keterbatasan akses dan tidak saling bertentangan, tetapi sebaliknya dapat saling menguatkan. Beberapa isu yang saling terkait diantaranya:
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Terutama berkaitan dengan ADAPTASI dalam pelestarian Cagar Budaya. Pada pasal 1 angka 32 berbunyi : Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini, dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian, yang mempunyai nilai penting.

Selanjutnya pada Pasal 83 ayat (2) disebutkan bahwwa Adaptasi dilakukan dengan ;
mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya, menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan, mengubah susunan ruang secara terbatas dan mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.

Berdasarkan Pedoman Operasional Konvensi Warisan Dunia (Operational Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention), UNESCO pada 31 Juli 2024 yang disebutkan dalam annex 5 pasal 5h. (hal. 112) , tentang fasilitas pengunjung dan infrastruktur, yang mensyaratkan adanya penjelasan mengenai faslitas inklusif yang tersedia di lokasi untuk (memenuhi kebutuhan) pengunjung, termasuk penyediaan akses yang aman dan sesuai ke lokasi dan menunjukkan bahwa fasilitas tersebut, sesuai dengan persyaratan perlindungan dan pengelolaan properti yang dinominasikan.

Pedoman ini menunjukkan pentingnya inklusivitas (Terbuka bagi semua kelompok masyarakat. Artinya perlu memastikan bahwa semua orang, termasuk penyandang disabilitas dan lansia, dapat menikmati keindahan Candi Borobudur).

Jika merujuk pada Undang-Undang RI Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas bahwa penyandang disabilitas memiliki hak, untuk memperoleh kesamaaan kesempatan untuk melakukan kegiatan wisata (pasal 6 huruf b) dan mendapatkan kemudahan untuk mengakses, perlakuan dan Akomodasi yang layak sesuai dengan kebutuhannya sebagai wisatawan (pasal 16 huruf c).

Selanjutnya pasal 85 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas, untuk mendapatkan layanan kebudayaan dan pariwisata. Dengan demikian penyediaan standar fasilitas minimum yaitu, fasilitas inklusif penting untuk diperhatikan demi terciptanya kenyamanan dan keamanan wisatawan Penyandang Disabilitas Fisik, maupun yang memiliki keterbatasan akses pada saat mengunjungi Candi Borobudur.

Untuk kepentingan Jangka Panjang, Koordinator Madya, Jhohannes Marbun, S.S., M.A meminta Kementerian Kebudayaan untuk segera membuat kajian serius mengenai aksesibilitas bagi pengunjung (visitor), yang memiliki keterbatasan akses termasuk penyandang disabilitas serta merealisasikan fasilitas inklusif (ramah bagi semua orang), yang memungkinkan di Candi Borobudur tersebut dengan tetap merujuk pada prinsip-prinsip pelestarian, peraturan perundang-undangan yang ada, maupun pedoman operasional.

“sebenarnya isu kebutuhan aksesibilitas di borobudur baik untuk pemenuhan orang dengan keterbatasan akses, maupun penyandang disabilitas bukanlah permasalahan baru. Hal tersebut sudah lama, bahkan pengelola borobudur sudah membuatkan beberapa fasilitas untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas. Namun masih terbatas pada halaman candi borobudur. Pada tahun 2019, didasarkan penelusuran MADYA telah ada permintaan kebutuhan agar sampai pada puncak borobudur, namun tidak ada tindaklanjutnya sampai kemudian terjadi polemik baru-baru ini,” ungkap Joe Marbun, Rabu (28/5/25) di Jakarta.
(RS*).

Baca berita terkini di Blokberita.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *